Senin, 25 Juni 2012

fikih jinayah Jarimah Percobaan



BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Dalam pembahasan tentang percobaan melakukan tindak pidana (jarimah) para ulama lebih cenderung kepada jarimah qisas, hudud dan diyat dari pada jarimah ta’zir. Karena menurut para ulama’ jarimah disas, hudud dan diyat dari ada hudud syarat-syaratnya tetap tanpa ada perubahan, berbeda dengan jarimah ta’zir, jarimah ta’zir dapat berubah-ubah sesuai dengan keadaan dan waktu maka dari itu para ulama’ lebih menuju kepada jarimah disas, diyat dan hudud.
Dan dalam hal ini, ada beberapa fase yang harus diperhatikan, diantaranya.
  1. Fase pemikiran dan perencanaan (marhalah Al-tafkir)
  2. Fase persiapan (marhalah al-Tahdhir)
  3. Fase pelaksanaan (marhalah al-Tanfidz)
Yang kesemuanya akan dijelaskan dalam makalah ini

1.2    Permasalahan
-          Bagaimana pandangan para ulama’ tentang masalah percobaan melakukan tindak pidana (jarimah)

1.3    Tujuan
-          Ingin mengetahui tentang apa yang dinamakan dengan “percobaan” dalam suatu tindak pidana.







BAB II
PEMBAHASAN

PERCOBAAN MELAKUKAN JARIMAH

A.    Percobaan dilakukan fuqaha’
Teori tentang jarimah ’’percobaan” tidak kita dapati dikalangan fuqaha, bahkan istilah Percobaan adalah permulaan dari pelaksanaan jarimah yang tidak mencapai sasaran yang diinginkan. Pada umumnya dapat dikelompokkan pada percobaan tidak selesai karena terdapat kendala dari luar misalnya pelaku telah membongkar dinding rumah untuk mencuri, tetapi tidak sempat untuk mencuri karena ada peronda. jelasnya perbuatan itu tidak selesai menurut kehendaknya.
Percobaan sia-sia adalah Perbuatan yang selesai dikerjakan tetapi tidak mencapai sasaran yang dikehendaki, misal seseoarang ingin membunuh orang lain dengan racun dan diminum oleh orang tersebut, ternyata bukan air racun tetapi gula : sehingga usaha pembunuhan gagal walaupun pekerjaannya selesai dilakukan .
Tetapi ada juga perbuatan menuju jarimah berangkai, seperti kasus pencurian barang dalam rumah misalnya, pencuri mulai dari membongkar dinding untuk mencuri, kemudian ia insaf dan menggagalkan niatnya untuk mencuri, kegagalan itu datang dari dalam dirinya sendiri. Maka hal seperti itu tidak dikatagorikan dalam pengertian percobaan.
Dapat kita ketahui bahwa untuk melakukan suatu jarimah kadang-kadang tidak diperlukan kejahatan lain untuk mendahuluinya, seperti pembunuhan langsung dengan senapan, pisau atau pemukul. Tetapi adakalanya diperlukan kejahatan lain untuk mendahuluinya, seperti pembunuhan orang dalam gedung, harus merusak atau menghancurkan gedung itu. Pada pidana Indonesia, kita mengenal adanya gabungan kejahatan yang real ataupun yang ideal.
Islam hanya membagi kejahatan kepada:
1. Qishas/diyat
2. Hudud, pencurian, perzinaan, tuduhan berbuat zina, khamar, memerangi Allah dan Rasul.
3. Ta’zir yaitu bermacam-macam pidana berkaitan dengan ketentraman umum yang dikelompokkan sebagai perbuatan maksiat.
Pidana islam melihat setiap perbuatan sebagai amal yang selesai dengan hukuman. Yang tersedia. Tidak dikenal dengan adanya percobaan pada qishas / diyat atau hudud, jika perbuatan-perbuatan itu tidak terwujud, hukuman pun tidak dapat diterapkan .
Apabila terlaksana perbuatan menuju perbuatan sepenuhnya qishas/diyat atau hudud yang dikenal dengan percobaan, perubahan itu disebut suatu maksiat sepanjang berlawanan dengan nushus (nash).
Percobaan pelanggaranpun termasuk juga perbuatan yang tergolong maksiat. Pidana islam pada prinsipnya, bahwa niat/perencanaan tanpa pelaksanaan perbuatan jahat, tidak diancam dengan dosa apalagi dengan hukuman. Sedangkan niat/perencanaan kebaikan adalah pahala.
Mengenai persiapan untuk melakukan jarimah, tetap diukur apakah perbuatan itu termasuk maksiat atau tidak. Itulah ukuran persiapan itu hukuman atau tidak oleh pidana ta’zir.
Sesuai dengan pendirian syara’ maka pada peristiwa penganiayaan dengan maksud untuk membunuh, apabila penganiayaan berakibat kematian, maka perbuatan itu dianggap pembunuhan sengaja. Kalau korban dapat sembuh, maka perbuatan tersebut dianggap penganiayaan saja dengan hukuman yang khusus. Akan tetapi kalau pembuat hendak membunuh korbannya, kemudian tidak mengenai sasarannya, maka perbuatan itu disebut ma’siat dan hukumannya adalah ta’zir.[1]

B.     Fase –fase Pelaksanaan Percobaan Jarimah.
Walaupun demikian, masalah percobaan melakukan jarimah disinggung secara umum, seperti seseorang yang melakukan jarimah itu setidak-tidaknya melalui 3 fase, yaitu fase pemikiran dan perencanaan, fase persiapan, dan fase pelaksanaan. Sebagai contoh, seseorang yang akan melakukan pencurian mula-mula berfikir apakah jadi mencuri atau tidak. Bila telah kuat niatnya untuk mencuri, maka mempersiapkan alat-alatnya, seperti membeli kunci atau pencongkel pintu. Selanjutnya, ia berangkat untuk mencuri. Berikut adalah beberapa fase tersebut:
a. Fase pemikiran dan perencanaan (marhalah al-Tafkir)
Memikirkan dan merencanakan sesuatu jarimah tidak dianggap maksiat dan tidak dapat dikenai sanksi, karena menurut aturan dalam syariat islam seseorang tidak dapat di tuntut karena lintasan hatinya atau niatannya yang tersimpan dalam dirinya sesuai dalam kata-kata rasulullah Saw sebagai berikut:
”tuhan memaafkan umatku dari apa yang dibisikkan atau dicetuskan oleh dirinya, selama ia tidak berbuat dan tidak mengeluarkan kata-kata. Seseorang hanya dituntut karena kata-kata yang diucapkannya dan perbuatan yang dilakukannya”.
Meskipun menurut para ulama tasawuf sering memikirkan hal-hal yang maksiat menunjukkan hatinya belum suci. Aturan tersebut sudah terdapat dalam syariat islam sejak mula-mula diturunkan tanpa mengenal pengecualian.
Menurut KUHP RPA terhadap pembunuhan berencana dikenakan hukuman mati, dan terhadap pembunuhan biasa dikenakan kerja berat seumur hidup atau sementara (fasal 230 dan 234).
Menurut KUHP Indonesia, karena pembunuhan berencana dihukum mati atau dihukum penjara seumur hidup atau hukuman penjara selama-lamanya dua puluh tahun, dan karena pembunuhan biasa dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.
b. Fase persiapan (marhalah Al-tahdhir)
Menyiapkan alat-alat yang dipakai untuk melakukan jarimah. Seperti membeli senjata untuk membunuh orang lain atau membuat kunci palsu untuk mencuri . Dalam fase ini ada dua kemungkinan, kemungkinan pertama ia tidak dikenakan sanksi bila yang dilakukannya itu bukan suatu maksiat . Kemungkinan yang kedua pelakunya dapat dikenakan sanksi bila perbuatannya merupakan suatu naksiat. Alasan untuk tidak dimasukkan fase persiapan sebagai jarimah ialah bahwa perbuatan seseorang yang biasa di hukum harus berupa perbuatan maksiat dan maksiat baru terwujud apabila berisi pelanggaran hak tuhan (hak masyarakat) dan hak manusia, sedang pada penyiapan alat-alat jarimah yang tidak berisi suatu kerugian nyata terhadap hak-hak tersebut. Kalau dianggap menyebabkan kerugian maka anggapan ini masih bisa di ta’wilkan. Sedangkan menurut aturan syariah seseorang tidak bisa diambil tindakan terhadapnya kecuali apabila didasarkan kepada keyakinan.







C.      Fase pelaksanaan (marhalah al-Tanfidz)
Dalam fase ini perbuatan seorang pelaku tindak pidana telah dapat dikenai sanksi bila perbuatannya itu merupakan suatu maksiat meskipun belum selesai. Pada pencurian misalnya, melobangi tembok, membongkar pintu, dan sebagainya. Dianggap sebagai maksiat yang dijatuhi hukuman ta’zir, dan selanjutnya dianggap pula sebagai percobaan pencurian meskipun untuk terwujudnya perbuatan pencurian masih terdapat perbuatan-perbuatan lain lagi, seperti masuk rumah, mengambil barang dari lemari, dan membawanya keluar dan sebagainya.
Jadi ukuran perbuatan dalam percobaan yang bisa di hukum ialah: apabila perbuatan tersebut sudah sampai pada kategori maksiat. Untuk itu semua sangat erat sekali hubungannya dengan niat pelaku. Dalam hal ini niatan dan tujuan pembuat sangat penting artinya untuk menunjukkan apakah perbuatan itu maksiat atau tidak .[2]

D.     Tidak Selesainya Percobaan dan Hukumnya
Seorang pembuat yang telah memulai perbuatan jarimahnya adakalanya dapat menyelesaikannya atau tidak dapat menyelesaikannya. Kalau dapat menyelesaikannya maka sudah sepantasnya ia dijatuhi hukuman yang diancamkan terhadap perbuatan itu. Kalau tidak dapat menyelesaikannya, maka adakalanya karena terpaksa atau karena kehendak dirinya sendiri.
Dalam hal ini perbuatan jarimah disebabkan oleh: a. Karena terpaksa Keterpaksaan tidak selesainya suatu tindakan yang dilakukannya disebabkan oleh keadaan yang datang diluar diri pelaku. Misalnya pelaku tertangkap, maka hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya dilihat dari keadaan kejahatan yang telah dilakukannya, kalau sudah tergolong maksiat, maka hukumannya sesuai pula dengan perbuatan maksiat itu. Seperti membongkar rumah, tapi diketahui orang dan menangkapnya, maka hukuman yang dikenakan kepada si pelaku sesuai dengan keadaan bagaimana si pelaku ditangkap . Selain dari keadaan diatas, dapat pula terjadi tidak selesainya percobaan itu, karena takut atau khawatir dilihat orang, misalnya pada malam hari pelaku telah membongkar pagar pemilik rumah, akan tetapi disebabkan lampu luar pemilik rumah hidup, timbul kekhawatirannya untuk meneruskannya, karena takut dapat dilihat oleh orang dari jauh dan akan menangkapnya. b. Karena kesadaran/taubat
Dimana si pelaku sadar bahwa perbuatannya bertentangan dengan agama dan kembali untuk mentaati agamanya. Allah berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 34 sebagai berikut:


žwÎ) šúïÏ%©!$# (#qç$s? `ÏB È@ö6s% br& (#râÏø)s? öNÍköŽn=tã ( (#þqßJn=÷æ$$sù žcr& ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÍÈ  


Artinya :
“Kecuali orang-orang yang Taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; Maka Ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Allah akan memberikan taubat kepada mereka dan menerimanya. Jika taubatnya itu sebelum mereka tertangkap. Hambali dan syafi’I mengatakan orang yang taubat sebelum tertangkap tidak lagi dijatuhi hukuman, dengan arti kata penyesalan itu sudah menghapuskan hukumannya. Mereka beralasan dengan firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 16: Artinya : “Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah hukuman kepada keduanya, Kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. Malik dan Abu Hanifah mengatakan : Taubat tidak menghapuskan hukuman, karena hukuman itu adalah sebagai penebus kesalahannya. Terkecuali pada jarimah hirabah, sebab pelakunya adalah sejumlah orang yang mempunyai kekuatan dan tak mudah untuk dikalahkan dan sangat berbahaya. Oleh karena itu dengan jalannya penyesalan dan taubat, pelaku dapat menghapuskan hukumannya.
Jadi apabila seseorang pembuat jarimah hirabah sudah menyatakan taubat dan penyesalan, maka hapuslah hukumannya meskipun ia telah melakukan jarimah yang selesai.kalau demikian kedudukan orang yang telah memperbuat jarimah hirabah, pembebasan dari hukuman juga dapat diberikan kepada orang yang tidak menyelesaikan jarimah hirabah.


E.     Percobaan Melakukan Jarimah Mustahil
Dikalangan fuqaha tidak Nampak adanya pembahasan tentang percobaan melakukan “jarimah mustahil” yang terkenal dikalangan sarjana-sarjana hukum positif dengan nama “ondeug delijk poging” (percobaan tak terkenan) yaitu suatu jarimah yang tidak mungkin terjadi (mustahil) karena alat-alat yang dipakai untuk melakukannya tidak sesuai, seperti orang mengarahkan senjata kepada orag lain dengan maksud untuk membunuhnya, tetapi ia sendiri tidak tahu bahwa senjata itu tidak ada pelurunya atau ada kerusakan bagian-bagiannya, sehingga orang lain tersebut tidak meninggal. Atau boleh jadi barang /perkara yang menjadi obyek perbuatannya tidak ada, seperti orang yang menembak orang lain dengan maksud untuk membunuhnya, sedang sebenarnya orag tersebut telah meninggal sebelumnya.
Apabila ada seorang yang hendak meracun orang lain bukan dengan bahan racun atau dengan bahan racun tetapi sedikit sekali, sehingga tidak mengakibatkan matinya korban. Atau pengguguran kandungan dengan sengaja terhadap orang wanita yang sebenarnya tidak hamil. Kalau contoh pertama di sebut absolute (mustahil) dari segi alat yang dipakai (midded) maka pada contoh kedua adalah absolute (mustahil) dari segi perkara yang menjadi obyek (voorwerp).
Apabila pada peracunan tersebut sebenarnya racun yang diberikan sudah cukup mencapai dosisnya, akan tetapi orang yang diracun kuat badannya sedemikian rupanya, sehingga ia tidak mati, maka perbuatan tersebut disebut “percobaan tak terkenan relative” dari segi alat.
Tidak selamnya mudah untuk mengadakan pemisahan yang jelas antara kemustahilan absolute dengan kemustahilan relative, dan sering-seringnya hanya tergantung kepada cara memberikan alasan.[3]
Jika seseorang telah menggunakan segala daya upaya yang diperlukan untuk menggugurkan kandungannya, padahal ia tidak hamil, maka perbuatan itu termasuk percobaan tak terkenan karena tujuan pembuat tak tercapai.
Akan tetapi seseorang lelaki melarikan seorang perempuan yang ternyata kemudian telah cukup umur, maka dalam contoh ini tujuan pembuat tercapai. Hanya saja bagi pembuat tidak ada fasal yang bisa diterapkan, sebab fasal 332 KUHP Indonesia ayat 1 hanya mengenai perempuan yang masih dibawah umur.
Aliran subyektif menekankan kepada tujuan yang dikandung dalam diri pembuat dan bahaya yang ditimblkannya. Apabila perbuatan-perbuatan yang dilakukannya sudah cukup jelas menunjukkan kepada niatan pembuatan, maka berarti ia telah melakukan percobaan jarimah, dan oleh karenanya ia berhak dijatuhi hukuman perbuatan percobaan .
Pendirian aliran subyektif dalam jarimah mustahil sama dengan syariat Islam, sebab menurut syariat islam tidak menjadi soal, apakah kemustahilan sesuatu jarimah karena alat alat yang dipakai atau karena perkara yang menjadi tujuannya. Selama perbuatan pembuat berupa maksiat maka pembuat harus mempertanggungjawabkannya. Selama niatan salahnya sudah Nampak dan menjelma pada perbuatan-perbuatan nyata yang telah dilakukan oleh pembuat, degan maksud untuk melaksanakan jarimahnya, maka artinya pembuat tersebut tidak menimbulkan sesuatu derita pada diri si korban, atau jarimah yang dikendaki itu mustahil dilaksanakan, maka untuk menilai keadaan demikian, diserahkan kepada pertimbangan hakim, dan ia bisa menjatuhkan hukuman dengan disesuaikan kepada keadaan pembuat dan perbuatannya.













BAB II
PENUTUP
A kesimpulan
Percobaan jarimah adalah tidak selesainya perbuatan pidana karena adanya faktor-faktor yang menyebabkan tidak terselesainya jarimah itu, namun sipelaku ada niat dan ada permulaan berbuat pidana. Percobaan melakukan jarimah tidak dikenakan hukuman had atau qisas,melainkan dengan hukuman ta’zir
Seseorang yang melakukan jarimah itu setidak-tidaknya melalui tiga fase, yaitu fase pemikiran, fase persiapan dan fase pelaksanaan.fase pemikiran, memikirkan dan merencanakan sesuatu jarimah tidak dianggap ma’siat yang dijatuhi hukuman, karena menurut aturan dalam syari’at islam, seseorang tidak dapat dituntut (dipersalahkan) karena lintasan hatinya atau niatan yang tersimpan dalam dirinya, begitupun dengan fase persiapan, menyiapkan alat yang dipakai untuk melakukan jarimah, seperti membeli senjata, tidak dianggap ma’siat yang dapat dihukum, kecuali apabila perbuatan persiapan tersebut itu sendiri dipandang sebagai ma’siat. fase pelaksanaan, pada fase inilah perbuatan sipembuat dianggap sebagai jarimah.
B. Saran
Dengan adanya pembahasan yang telah dipaparkan diatas, setidaknya pembaca mengetahui apa itu jinayah/jarimah khususnya dalam pembahasan yang di sampaikan penulis yaitu percobaan melakukan jinayah/jarimah, serta hukum-hukumnya. Agar manusia dapat hidup tentram, aman, damai, tertib dan berkeadilan. Dan juga perlu adanya perhatian dalam penulisan untuk mengambil referensi yang lebih banyak agar hasil dari penulisan lebih sempurna, sehingga mudah di baca dan dipahami oleh semua kalangan.[4]









DAFTAR PUSTAKA

Ahmad hanafi MA., Asas-asas Hukum Pidana Islam, PT Bulan Bintang, Jakarta, 1. 993
Drs. H.M. Jinayat, Suska Press Nasir, Cholis, M.A., Fiqih __
Prof. Drs. H.A. djazuli, Fiqih Jinayah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000.

Al-Rahim Shidqy, Abdul. 1987. Al-jarimatu wa Al-‘uquubatu fii Asy-Syar’iyati Al-Islamiyyati. Mesir: Maktabah Nahdhah
Djazuli, 1997. Fiqh Jinayah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
I Doi, Abdur Rahman. 1992. Tindak Pidana dalam Syariat Islam. Jakarta : Rineka Cipta




[1]. Ahmad hanafi MA., Asas-asas Hukum Pidana Islam,hal 22
[2]. Drs. H.M. Jinayat, Suska Press Nasir, Cholis, M.A., Fiqih . hal 17

3 Prof. Drs. H.A. djazuli, Fiqih Jinayah,hal 55
[4] I Doi, Abdur Rahman. 1992. Tindak Pidana dalam Syariat Islam. Hal 43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar